Do’a Restu Orang Tua, Agar Hidup Lebih Ringan dan Barokah
Do’a Restu Orang Tua
Mengutip essai dari akun twitter @edi_akhiles “Panjang sekali esai ini,
tentang relasi barakoh ridho dan doa orang tua bagi jalan suksesnya. Sukses
anak adalah berkah tirakat orang tuanya”. Panjang sekali esainya, tetapi esai
ini cukup menarik untuk dibaca. “Semua pencapaian saya sampai detik ini atas
usaha dan do’a orang tya, gusti Allah katon” komentar dari salah satu nitizin.
Komentar lain menyebutkan “Untuk semua teman-teman terutama yang memiliki masa
lalu kelam atas orang tuanya selalu diberi kesabaran dan kekuatan. Aamiin”.
Agar Hidup
Lebih Ringan, Mulailah dengan Meminta Doa Restu Orang Tua
Berikut uraian essai tersebut dan juga bisa diakses di https://islami.co/agar-hidup-lebih-ringan-mulailah-dengan-meminta-doa-restu-orang-tua/ :
Betapa agungnya budi baik orang tua kepada setiap kita. Sederhana, tanpa
adanya mereka, juga tanpa budi baik mereka, maka takkan ada kita, kita takkan
menjadi besar dan mungkin cerdas dan hebat seperti kita sekarang ini.
Wajar, masuk akal, bila sampai ada hadis yang sangat masyhur ini:
Dari Abdullah bin ‘Amr Ra, Kanjeng Nabi SAW bersabda, “Ridha Allah ada dalam ridha orang tua (kepada anaknya) dan benci
Allah ada dalam benci orang tua (kepada anaknya).” (HR. Tirmidzi).
Suatu malam, saya ngetwet begini: “Minta maaflah pada orang tua, insya Allah itu jadi awal bagi jalan ridhaNya,
semoga lalu dimudahkanNya hajatmu, dibukaNya kesulitanmu, dikaruniakanNya
rezeki-rezeki dari berbagai jalan dan arah yang tak terduga….”
Saya tahu–walau tak pernah mengalami sendiri—bahwa ada sebagian orang,
anak, yang kurang beruntung karena pernah mengalami tindakan dan perilaku
kurang baik dari orang tuanya. Sebagiannya lalu menjelma kekecewaan, kebencian,
kemarahan, dan bahkan dendam yang menahun. Mereka sungguh mengalami kesulitan
untuk membina, atau memulai, hubungan baik dengan orang tuanya, apalagi untuk
memohon doa restu dan ridha mereka –sebagaimana yang saya maksud, yang saya
dasarkan pada hadis Abdullah bin ‘Amr di atas.
Benarlah, ada sejumlah orang yang memention saya dan bertanya,
“Bagaimana bila orang tualah yang telah berbuat buruk kepada anak,
menyia-nyiakan anak, dan sejenisnya? Mohon arahan keterangannya….”
Saya menarik napas dalam-dalam.
Sungguh rasa prihatin saya memancar begitu ruah. Diam, saya doakan
mereka yang mengalami masa lalu kurang menyenangkan begitu, semoga Allah Ta’ala
mengampuni orang tuanya dan melebarkan kesabaran di hati anaknya, dan suatu
hari dipertemukan dipersatukan selayaknya hubungan manis penuh cinta orang tua
dan anak, amin.
Saya teringat Qur’an surat Luqman ayat 15:
“Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan Aku
(Allah Ta’ala) dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya dan (tetap) pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu, kemudian hanya
kepadaKu lah kalian kembali, maka Aku akan memberitahu kalian atas apa-apa yang
telah kalian perbuat.”
Mari kita pahami bahwa tidak ada satu dosa pun, maksiat pun, yang tidak
diampuni oleh Allah Ta’ala sepanjang si pelaku bertaubat kepadaNya. InnaLlaha yaghfirud dunuba jami’an, sesungguhnya Allah Ta’ala
mengampuni segala dosa. (QS. Az-Zumar 53). (Membaca ayat ini
mesti diteruskan kepada dua ayat berikutnya, yakni Az-Zumar 54 dan 55).
Hanya ada satu pengecualian, tegasnya hanya ada satu dosa dan maksiat
yang tak diampuni oleh Allah Ta’ala, yakni kufur iman kepadaNya atau
menyekutukanNya (syirik). Ini adalah dosa terbesar, yang obatnya hanya satu:
bersyahadat (lagi) dan tak mengulanginya lagi –bukan sekadar taubat
biasa.
Saking parahnya dosa kufur dan syirik ini, saking bencinya Allah Ta’ala
kepada perbuatan tersebut, sampai-sampai al-Qur’an tak lagi menyebut perbuatan
kufur dan syirik ini dengan danbun, dosa, tetapi
disebut “dhalalun mubin” (kesesatan yang sangat terang nyata)
atau “dhalalun ba’id” (kesesatan yang sangat jauh atau
keterlaluan).
Sekarang, dengan clue pemahaman
tersebut, perhatikanlah bagaimana Allah Ta’ala dalam surat Luqman 15 di atas
tetap memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang tua. Silakan ulangi
membacanya dan renungkanlah dalam-dalam.
Dikarenakan orang tua menyuruh kita untuk menyekutukan Allah Ta’ala
–dosa yang paling parah dan keterlaluan—jelas kita tak boleh mematuhinya.
Tetapi, sekali lagi, perintahNya terang betul bahwa kita, sebagai anak, mesti
tetap berbuat baik kepada mereka.
Anggaplah ada orang tua yang menelantarkan anaknya di masa lalu. Dan itu
Anda. Benar-benar literally menelantarkan, tak
bertanggung jawab, pemarah, ngamukan, ringan
memaki, bahkan memukul, dan sejenisnya. Bahwa itu adalah keburukan orang tua,
iya; bahwa dengan perbuatan-perbuatan buruk tersebut mereka menanggung dosa,
iya; bahwa mereka akan menerima hukuman dari Allah Ta’ala kelak di akhirat
(jika tak memohon ampunanNya dan menebus maaf), iya.
Sebagian orang lalu membuat istilah terhadap orang tua berperangai buruk
begitu, yakni orang tua durhaka–kata mereka karena faktanya tak hanya anak yang
bisa durhaka, tetapi orang tua pun bisa begitu pula.
Jika orang tua Anda pernah berbuat begitu buruknya kepada Anda,
ketahuilah kini dengan berdasar clue pemahaman
tadi (Luqman ayat 15) bahwa derajat seluruh perbuatan buruk mereka mestilah
tetap didudukkan di bawah kekufuran dan kesyirikan. Sekali lagi, tidak ada
salah, dosa, dan maksiat yang lebih tinggi lagi daripada kufur dan syirik. Jika
mereka bertobat, beristighfar, dan menebus salahnya kepada anak yang telah
disakiti, maka selesailah urusan dosa mereka. Demikianlah posisi orang tua.
Kini, posisi Anda sebagai anak. Jangankan kepada salah, dosa, dan
maksiat orang tua yang (umpama) pernah menelantarkan Anda, bahkan jika orang
tua Anda menyuruh Anda kufur kepada Allah Ta’ala, Anda tetap mesti bersikap
baik kepada mereka. Sama sekali tidak ada opsi untuk tidak berbuat baik kepada
orang tua, seburuk apa pun kelakuan mereka….
Tentu saja buat sebagian orang, anak, ini sungguhlah berat, sangat
berat. Tetapi, ya begitulah hukum yang telah ditetapkan Allah Ta’ala….
Bahwa lalu bentuk dan cara Anda untuk terus berusaha dan berjuang bisa
bersikap baik kepada orang tua yang pernah lalim kepada Anda begitu musykilnya
untuk sama, serupa, dan sepadan dengan bisa los baiknya
Anda kepada orang yang baik kepada Anda, tentu itu hal wajar nan manusiawi
belaka. Tentu itu bagian dari sifat nature manusia.
Kita semua bisa memahaminya. Namun, pada pokoknya, hukum yang mesti selalu
dijunjung ialah jangan sampai anak terjatuh pada derajat tidak berbuat baik
kepada mereka.
Akhirnya, apa pun itu bentuknya, caranya, sepanjang sikap Anda kepada
orang tua masih dalam lingkup baik, kiranya ia telah bisa diterima sebagai
sikap baik anak kepada orang tua. Itulah kiranya yang terpenting, yang
terpokok.
Jika Anda meminta ilustrasi yang terang, secara umum kita bisa beri
gambaran begini: sepanjang seorang anak tidak sampai memutus tali silaturrahim,
tali kekeluargaan, dengan orang tuanya, insya Allah itu
telah bisa disebut baik–walau kita pun paham secara general bahwa sikap begitu
belaka tidaklah ideal; ya semoga seiring waktu lalu bisa menjadi lebih baik,
lebih ideal, lebih baik, lebih ideal, amin.
Suatu hari, Kanjeng Nabi Saw didatangi seorang bapak tua yang
mengeluhkan anaknya yang menolaknya memberikan uang yang dipintanya. Dengan
airmata berlinang, bapak tua ini berkisah bagaimana ia telah membesarkan
anaknya dengan penuh berat dan perjuangan, lalu kini di kala sepuhnya ia tak
mendapatkan balasan kebaikan yang diinginkannya dari anaknya.
Kanjeng Nabi Saw lalu memanggil si anak. Si anak yang telah menjadi
lelaki kuat itu mengatakan bahwa sebetulnya bapaknya ini telah dipenuhi
kebutuhannya, tetapi ia suka meminta ini dan itu lagi sehingga ditolaknya.
Kanjeng Nabi Saw lalu dawuh, “Engkau dan seluruh harta yang
engkau miliki adalah milik bapakmu.”
Inilah kira-kira derajat ideal dedikasi dan pengabdian anak kepada orang
tuanya. Sekali lagi, idealitas ini jikapun masih terasa musykil buat sebagian
orang saat ini –apalagi yang pernah mengalami trauma masa lalu—seyogianya
(setidaknya) tetap dirawat secara spirit untuk terus berusaha meningkatkan
kualitas baiknya kepada orang tuanya.
Memang, ada hadis lain lagi yang memperlihatkan bahwa tidak serta merta
menjadi kemutlakan penuh bagi anak untuk memenuhi literally semua keinginan dan permintaan orang
tuanya jika ia tak memiliki kemampuan atas hal tersebut atau ada tanggungan
kewajiban lain pada dirinya yang juga sama pokok dan pentingnya untuk dipenuhi,
seperti tanggungan nafkah istri dan anak-anak. Bahwa anak tetap punya kewajiban
untuk memperjuangkan memenuhi permintaan orang tuanya, iya; namun ejawantahnya
tentulah tidak bisa dibakukan secara general mesti begini begitu karena setiap
kita punya kotaknya masing-masing.
Saya teringat kepada kisah dua sahabat terkemuka Kanjeng Nabi SAW yang
pernah mengalami “urusan pahit” dengan orang tuanya, tepatnya ibu. Yakni
Mush’ab bin Umair Ra dan Saad bin Abi Waqash Ra.
Ketika Mush’ab bin Umair Ra masuk Islam di Mekkah, lalu diketahui orang
tuanya, ibunya sangat marah dan benci kepada anak yang sungguh sebelumnya amat
sangat disayanginya. Dengan beragam cara si ibu berusaha keras membuat Mush’ab
bin Umair Ra kembali kepada kaum musyrik Quraisy. Bahkan termasuk mengurungnya
di dalam rumah kosong dalam waktu yang sangat lama, menghentikan semua
pemberian, termasuk makanan dan minuman, dan merundungnya dengan sangat keras
tidak mengakuinya sebagai anaknya lagi.
Mush’ab bin Umair Ra tetap kokoh dalam iman dan Islamnya; ia bergeming
atas semua tindakan buruk ibunya yang sangat luar biasa buruk itu, dan tetap
memperlihatkan sikap hormat kepadanya. Betul, sikap hormat selayaknya anak
kepada ibunya, walau dalam hal keimanan itu menolak tuntutan ibunya untuk
kembali musyrik.
Saad bin Abi Waqash Ra juga mengalami pertentangan sengit dan keras dari
ibunya –meski tak sehebat kerasnya ibu Mush’ab bin Umar Ra. Saad bin Abi Waqash
Ra tetap dalam pendiriannya untuk mempertahankan agama Islam yang telah
dimasukinya, dan pula tetap memberikan penghormatan kepada ibunya.
Di antara cara ibu Saad bin Abi Waqash Ra untuk menekan putranya ialah
melakukan mogok makan. Literally mogok
makan yang sangat gawat.
Saad bin Abi Waqash Ra berusaha membujuk ibunya agar menghentikan
aksinya itu. Berkali-kali ia mendatangi ibunya, merayunya –semua ini menjadi
bagian dari cara si anak untuk tetap memberikan hormat dan sayang kepada orang
tua.
Saad bin Abi Waqash Ra berkata kepada ibunya yang telah berhari-hari
mogok makan dan berjanji akan terus tidak makan minum sampai meninggal atau
putranya keluar dari Islam, “Wahai ibu, meskipun rasa sayangku kepada ibu
sangat kuat dan tak berkurang sedikit pun, tetapi cintaku kepada Allah Ta’ala
dan RasulNya Saw lebih kuat lagi. Demi Allah, jika ibu memiliki seribu nyawa,
lalu satu persatu nyawa itu lepas dari tubuh ibu, aku takkan meninggalkan
agamaku ini.”
Riwayat teguhnya iman Saad bin Abi Waqash Ra ini, sekaligus tetap
hormatnya ia kepada ibunya, merupakan asbabun nuzul (sebab
turunnya ayat) bagi surat Luqman ayat 14-15.
Sedulur semua, andai ada di antara Anda yang tinakdir membaca bagian ini, dan Anda adalah orang
yang memiliki masa lalu kurang manis dengan orang tuanya, dan kini masih
menyimpan kecewa, marah, benci, dan bahkan dendam kepada orang tuanya, saya
doakan Anda untuk bisa segera diparing keridhaan
hati kepada masa lalu kurang baik dari orang tua itu.
Pertama, yakinilah selalu bahwa tidak ada satu peristiwa dan kejadian yang
mungkin luput dari qadha’ dan qadar Allah
Ta’ala –ya termasuk masa lalu murung Anda. Buruknya perilaku orang tua Anda di
masa lalu merupakan ketetapanNya kepada mereka, sebagai ujian buat mereka; dan
posisi Anda sebagai anak yang jadi korban dari sikap-sikap buruk orang tua itu
pula merupakan ketetapanNya, luyabluwakum ayyukum ahsanu
‘amalan, untuk mengujimu siapakah di antara kalian yang paling baik amal
perbuatannya. Semua adalah bagian dari ujian Allah Ta’ala,
entah itu dalam wujud kenikmatan maupun penderitaan, aasykuru am akfur, apakah aku bisa bersyukur ataukah malah kufur….
Kedua,
segala ketetapan takdir dari Allah Ta’ala bersanding dengan segala ketentuanNya
dalam wujud hukum syariat agama Islam ini. Hukum syariat ini takkan pudar, atau
dibuat pudar, atau dipudar-pudarkan, hanya karena dirasakan tidak cocok dengan
keinginan Anda. Segala ketentuan Allah Ta’ala dalam syariat ini –termasuk
perintah bersikap baik kepada orang tua, dalam segala keadaannya—ya begitulah
adanya, tak berkurang atau bertambah. Maka kepatuhan setiap kita kepada
ketentuan syariatNya menjadi batu ujian pula bagi seberapa takwanya kita
kepadaNya –termasuk dalam hal-hal yang hawa nafsu kita kurang/tidak menyukai.
Ketiga, obatnya adalah sabar, dan terus berjuanglah dalam bersabar, dan
berpegang teguhlah kepada tali Allah Ta’ala, dan bertakwalah
kepada(syariat)Nya, semoga Anda (kita semua) menjadi orang-orang yang beruntung
(QS. Ali Imran: 200).
Keempat, Allah Ta’ala menyerukan agar kita berusaha bisa membalas dengan
kebaikan kepada keburukan yang ditimpakan kepada kita –apalagi kepada orang tua
sendiri, yang bagaimanapun berkatnyalah kita bisa ada dan hidup di dunia ini,
seburuk apa pun mereka. Balasan kebaikan kita kepada keburukan orang di mata
Allah Ta’ala sungguh tak pernah sama nilainya, derajatnya, dan pahalanya. Dan,
barakah balasan kebaikan kita kepada orang yang berbuat buruk itu –apalagi
orang tua—adalah Allah Ta’ala akan mengakurkan, mendamaikan, antara dua orang
yang bermusuhan (ini di dunia), apalagi barakah di sisiNya langsung.
“Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan itu. Balaslah (keburukan)
dengan hal yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia
ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.
Sifat-sifat baik tersebut tidaklah dianugerahkanNya melainkan kepada
orang-orang yang sabar dan tidak dianugerakanNya melainkan kepada orang-orang
yang memiliki keuntungan yang besar. Dan jika setan mengganggumu dengan suatu
gangguan (godaan), maka mohonlah perlindungan kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya
Allah Ta’ala Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushhilat:
34-36).
Perhatikanlah itu, renungkanlah itu, lalu pelan-pelan action: segeralah minta doa restu dan ridha kepada
orang tuamu. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menguatkan dan menolong Anda (kita)
semua. Amin ya Rabbal ‘alamin. ShallaLlah ‘ala Sayyidina Muhammad wa
alihi wa shahbihi wa ummatihi ajma’in.
Dari Anas bin Malik Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Apabila seseorang (anak) enggan mendoakan kedua orang tuanya, maka niscaya rezeki anak tersebut di dunia akan terputus.” (HR. Al-Dailami).